Udang masih menjadi komoditas primadona di bidang perikanan yang memberikan kontribusi cukup besar dalam menghasilkan visa negara. Indonesia menjadi salah satu negara yang tergolong rutin mengekspor udangnya ke beberapa negara.
Tingginya permintaan udang di pasar nasional maupun internasional membuat petambak harus bisa sepandai mungkin untuk tetap memenuhi kebutuhan tersebut. Budidaya udang sendiri dikenal memiliki dua sistem budidaya, yakni tambak udang ekstensif dan tambak udang intensif.
Sumber: bebeja.com
Saat ini, sistem ekstensif atau tradisional masih mendominasi tambak-tambak masyarakat Indonesia. Padahal, sistem intensif menjanjikan hasil produksi dan keuntungan yang lebih besar, namun petambak masih banyak yang memilih untuk bertahan pada sistem budidaya ekstensif.
Pilihan bagi mayoritas petambak tersebut sebenarnya bukanlah tanpa alasan. Hal ini juga telah disinggung pada penelitian yang dilakukan oleh Rizki Utami, Tavi Supriana, dan Rahmanta Ginting dari Universitas Sumaetera Utara di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat pada tahun 2013.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa perbedaan biaya produksi antara sistem ekstensif dan intensif, serta mengetahui perbedaan hasil produksi antara keduanya. Hasil dari penelitian ini terlampir pada tabel di bawah.
Jumlah Benur
Untuk diketahui, sistem budidaya ekstensif menganut prinsip padat tebar optimum, yang artinya padat tebar lebih terukur. Sedangkan sistem budidaya intensif memiliki prinsip menggunakan padat tebar secara maksimum, sehingga padat tebar antar kedua terlihat berbeda dan yang paling banyak jumlah benurnya adalah pada sistem intensif.
Dengan jumlah padat tebar yang terukur, maka para petambak sistem ekstensif tidak memerlukan peralatan aerasi seperti kincir air yang banyak, sehingga biaya produksi menjadi lebih ekonomis. Berbeda dengan sistem intensif, dengan padat tebar yang tinggi maka petambak diharuskan untuk memberikan peralatan aerasi yang lebih banyak demi menyesuaikan kebutuhan oksigen dari benur yang dibudidaya.
Biaya Produksi
Seperti yang diperlihatkan pada tabel, penelitian ini membutuhkan biaya yang cukup banyak pada sistem budidaya intensif, yakni Rp4.104.896,- . Sedangkan pada sistem budidaya ekstensif hanya membutuhkan biaya sebesar Rp2.038.720,-. Hal inilah yang membuat mayoritas petambak masih bertahan pada sistem budidaya ekstensif ataupun tradisional, karena biaya produksi yang diperlukan masih tergolong terjangkau.
Produksi Kg per Ha
Dengan jumlah benur yang berbeda antar kedua sistem, tentu akan menghasilkan produksi yang juga berbeda. Walaupun membutuhkan biaya yang lebih tinggi, sistem budidaya intensif juga memberikan hasil produksi yang lebih tinggi dua kali lipat dari sistem budidaya ekstensif. Sistem budidaya ekstensif hanya mampu menghasilkan 72,25 kg, sedangkan untuk sistem budidaya intensif mampu menghasilkan 143,15 kg.
Pendapatan
Pendapatan sangat dipengaruhi oleh harga jual udang di pasaran, namun sistem budidaya intensif tentu akan lebih menghasilkan pendapatan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan sistem budidaya ekstensif. Pendapatan ini tentu berbanding lurus dengan hasil produksi.
Sisitem budidaya intensif mampu menghasilkan Rp7.975.162 dari hasil penjualan udang sebanyak 143,15 kg, sedangkan sistem budidaya ekstensif hanya menghasilkan Rp4.038.351 dari penjualan udang sebanyak 72,25 kg.
Baca Juga: