Indonesia dikenal sebagai negara dengan kawasan laut yang luas, namun juga dikenal sebagai negara yang rutin impor garam dari beberapa negara. Hal tersebut tentu terdengar cukup aneh, karena secara logika seharusnya Indonesia bisa mencukupi kebutuhan garamnya sendiri, karena Indonesia sudah memiliki bahan baku berupa air laut yang cukup melimpah dari kawasan lautnya.
Sumber: koran-jakarta.com
Hal tersebut dapat terjadi, karena ada beberapa kendala yang dihadapi oleh para petambak garam. Beberapa kendala tersebut meliputi teknologi, areal sarana, proses pembuatan, produktivitas, dan mutu garam.
1. Teknologi
Pembuatan garam yang oleh masyarakat saat ini masih mengadopsi cara tradisional. Hal tersebut menandakan bahwa teknologi pembuatan garam masih belum sepenuhnya ada pada tambak mereka.
Mereka masih memanfaatkan cahaya matahari untuk menguapkan air laut, jadi walaupun bahan baku yang melimpah namun faktor lingkungan yang tidak terjaga maka akan berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas dari garam yang dihasilkan.
2. Areal Sarana
Areal pertambakan rakyat dimiliki secara perorangan dan masih tergolong sempit, yaitu 0,5 sampai 5 hektar per unitnya dengan penataan petak yang terdiri dari petakan peminihan dan petakan kristalisasi yang tidak sesuai.
Kebanyakan, tambak garam rakyat memiliki petakan peminihan lebih luas dibandingkan dengan petakan kristalisasi, sedangkan untuk petakan penampungan air muda hanya mengandalkan parit yang ada di sekitar petak peminihan.
Hal ini membuat saluran air laut ke penampungan air muda sangat sempit dan dangkal, apalagi jika tidak dilengkapi dengan pompa, maka perolehan air muda akan menjadi lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
3. Proses
Secara garis besar, produksi garam rakyat yang akan dipasarkan adalah total keseluruhan air laut yang berhasil dikristalisasi. Prosesnya ialah dengan memeriksa air tua yang dianggap sudah memiliki kepekatan yang cukup, kemudian alirkan ke petak kristalisasi dengan harapan semua air tersebut akan menjadi kristal garam.
Tak jarang petak kristalisasi memiliki permukaan yang tidak dipadatkan dengan sempurna, sehingga saat proses pemanenan garam hal ini cukup mengganggu. Tanah akan terikut dengan garam yang dipanen, hal tersebut tentu akan memengaruhi kualitas serta kuantitas dari garam tersebut.
4. Produktivitas
Dengan teknologi yang seadanya dan sudah berlangsung dalam waktu yang lama, rata-rata petani garam di Indonesia dapat menghasilkan garam sebanyak 60 ton per hektar per musimnya.
Hal ini tentu memberikan asumsi bahwa apabila tambak garam yang sebelumnya asing terhadap teknologi, kemudian diberikan dan difasilitasi dengan teknologi yang mumpuni, maka jumlah tersebut dapat ditingkatkan secara berkala.
5. Mutu Garam
Garam yang dihasilkan pada tambak tradisional kebanyakan memiliki bentuk kristal yang kecil dan rapuh. Hal tersebut dapat terjadi karena proses pelepasan air tua yang belum saatnya serta waktu panen yang pendek yakni hanya 3 sampai 5 hari saja.
Warna dari garam yang dihasilkan juga sedikit buram dan menunjukkan bahwa garam yang dihasilkan bukanlah kualitas super. Kandungan nutrisinya juga masih di bawah standar, yakni kadar NaCl 99-92,5%, kadar Ca 0,22-0,25%, kadar SO3 0,70-1,15% dan kadar Mg 0,63-0,92%.
Baca Juga: