Beberapa waktu lalu, publik digegerkan dengan beredarnya video pembuangan jasad ABK (Anak Buah Kapal) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkapan tuna asal China. Hal tersebut terlihat menyedihkan sekaligus mengerikan. Banyak masyarakat yang geram melihat hal tersebut, bahkan banyak yang baru menyadari bahwa hal seperti itu sudah lumrah terjadi di sektor perikanan.
Sumber: kompas.com
Dilansir dari kompas.com, bila dibandingkan dengan perdagangan manusia pada sektor lain, eksploitasi pekerja yang ada di sektor perikanan dinilai paling parah. Hal tersebut disebutkan pada penelitian yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2006 silam.
“Pekerja dalam sektor perikanan adalah yang paling rentan mengalami eksploitasi dibandingkan dengan sektor yang lain. Pemaksaan untuk bekerja terus menerus bukanlah hal baru di kapal penangkapan ikan”, tulis laporan itu.
Hampir di seluruh dunia mengalami hal ini tak terkecuali di Indonesia, yang faktanya menjadi salah satu pusat perdagangan manusia dan menjadi destinasi dan transit bagi korban baik dari dalam maupun luar negeri.
Menurut laporan yang dibuat oleh Organization for Migration (IMO) yang bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Conventary University yang berjudul “Report on Human Trafficking Forced Labour and Fisheries Crime in the Indonesian Fishing Industry, memaparkan pada 2015 saja, ada lebih dari 1.000 nelayan dari Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos ditemukan terjebak di Ambon dan Benjina. Mereka diketahui telah diperdagangkan dari negara asalnya dan dipaksa untuk bekerja selama 20 jam tanpa henti dalam sehari di atas kapal.
Perdagangan dan eksploitasi manusia di sektor perikanan di Indonesia tidak hanya terjadi pada pria dewasa. Pada tahun 1999, International Labour Organization (ILO) melakukan studi terhadap pekerja anak-anak di sebuah instalasi penangkapan ikan yang disebut dengan jermal. Hampir semua pekerja yang ada di jermal merupakan anak laki-laki yang berusia di bawah 14 tahun.
Proses perekrutannya biasanya, anak-anak ini diambil dari desa nelayan terdekat dengan kontrak kerja selama 3 bulan dengan iming-iming gaji yang menggiurkan. Namun, perekrut biasanya tidak memberitahu secara detail kondisi pekerjaan yang akan mereka lakukan nantinya.
Pada akhirnya, anak-anak tersebut mengalami cukup banyak penderitaan karena dipaksa untuk bekerja dengan jam yang tidak manusiawi dengan kondisi lingkungan kerja yang tidak higienis, serta kekerasan dan bahkan terkadang kekerasan seksual kerap terjadi di sana.
Comments