Ditjen Perikanan Budidaya mendorong para peternak untuk menerapkan sistem bioflok. Sebab selain lebih menguntungkan dari sisi ekonomi, sistem bioflok secara biosecurity juga lebih baik. Bioflok pun dapat menekan kuantitas penggunaan pakan.
Sistem bioflok yakni merupakan teknologi budidaya tambak dengan cara menghilangkan limbah metabolik dari sistem produksi air dan mengganti sistem biofiltrasi klasik yang hanya mengandalkan sistem sirkulasi biasa.
Pada sistem bioflok dipelihara bakteri yang dapat mengkonversi amonia menjadi nitrat. Teknologi bioflok pun dapat mengontrol jumlah oksigen terlarut. Menerapkan sistem bioflok, peternak menumbuhkan bakteri probiotik secara maksimal dengan cara memasang penyuplai oksigen yang juga berfungsi untuk mengaduk air kolam.
Penerapan sistem bioflok pada budidaya/tambak ikan lele.
Bakteri ini membentuk agregat atau koloni (bioflok) tersuspensi dalam air. Dengan cara ini, peternak petambak tak perlu lagi menggunakan biofilter sehingga bisa lebih hemat biaya dan menghemat luas ruangan. Dengan kata lain, menerapkan sistem bioflok peternak menumbuhkan mikroorganisme yang dapat mengolah limbah yang dihasilkan dari budidaya ikan lele menjadi gumpalan - gumpalan (flock) kecil. Nah, selanjutnya gumpalan-gumpalan itu dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk lele.
Dikutip dari the fish site, secara umum ada dua tipe sistem bioflok dalam budidaya perikanan. Yakni yang menggunakan pencahayaan alami dan yang tidak. Bioflok yang menggunakan pencahayaan alami (outdoor) biasanya diterapkan pada pemeliharaan udang dan tilapia (mujahir) dalam kultur rumah kaca. Pencampuran beberapa alga yang dikombinasikan dengan bakteri dapat mengontrol kualitas air hijau (green water) pada sistem bioflok.
Menurut Dirjen Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, budidaya perikanan di Indonesia yang sudah menerapkan sistem bioflok adalah peternak lele yang tersebar dikawasan Kabupaten Krawang, Malang, Brebes, Pemalang, Kediri, Magelang dan Malang.
“Bila sistem bioflok diterapkan secara benar dan memenuhi standar, sangat memungkinkan bagi peternak untuk mendapatkan keuntungan Rp 3 juta per bulan,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebijakto, seperti dikutip dari www.djb.kkp.go.id. Ia pun membandingkan pakan yang dihabiskan pada kolam konvensional, bisa menghabiskan 1,8 kg untuk menghasilkan daging lele seberat 1 kg. Sementara dengan sistem bioflok hanya dengan 1 kg.
Kebanyakan sistem bioflok pada tambak komersial menggunakan green water system. Meski demikian, teknologi bioflok dapat diinstalasikan pada gedung tertutup tanpa eksposure cahaya alami. Sistem ini disebut juga dengan sistem bioflok dengan air cokelat (brown water system). Juga berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan bakteri dan kualitas air. (*)
Proses Pencampuran
Proses pencampuran bakteri, alga di dalam air turbulent merupakan persyaratan penting pada sistem bioflok. Padatan harus tersuspensi ke dalam air kolam setiap saat. Tanpa pencampuran, bioflok hanya sekadar tumpukan suspensi yang terus menerus mengonsumsi oksigen. Bioflok yang tak tercampur dengan baik akan membentuk zona anaerobik yang dapat menyebabkan pelepasan hidrogen sulfida, metana dan amonia yang sangat beracun bagi udang ataupun ikan. Padatan dapat dihilangkan dengan cara melakukan pembilasan periodik atau memompa lumpur.
Perlu diperhatikan juga, saat proses turbulensi untuk mencampurkan bakteri, alga di dalam air, tidak boleh terlalu kencang karena justru dapat menyulitkan bagi ikan atau udang untuk mencari makan. Oleh karena itu membuat turbulensi di tangki kecil justru lebih mudah dibandingkan di kolam ynag luas.
Dibandingkan dengan sistem perairan biasa yang ada di kolam konvensional, teknologi biofolk dapat meningkatkan kadar respirasi, dengan kadar respirasi air berada pada posisi 2-2,4 mgO2/L per jam.Kondisi ini tidak termasuk menghitung respirasi yang dilakukan oleh hewan tambak, yang biasanya akdar respirasinya adalah 5-8 mgO2/L per jam. Adapun respirasi air pada bioflok tertutup (Brown water system) adalah 6 mg02/L. Kondisi ini amat esensial untuk menyediakan aerasi yang cukup dan kebutuhan oksigen yang aman.
Pada praktiknya, aerasi digunakan untuk suplai oksigen dan sistem pencampuran. Meskipun kincir air tambak secara efektif dan efisien telah memenuhi kebutuhan oksigen, tetap saja belum ideal untuk proses pencampuran. Oleh karena itu diperlukan beberapa konfigurasi dari sistem pengairan. Tetapi tetap tergantung pada sistem bioflok seperti apa yang akan Anda wujudkan. Kebutuhan daya untuk pencampuran dan aerasi pada sistem bioflok juga jauh lebih tinggi dibanding kolam konvensional. Tambak udang bioflok membutuhkan aerasi dengan daya 25-35 HP/ha, pada budidaya ikan mujahir, biasanya membutuhkan aerasi sebesar 100-150 HP/ha.
Jadi, bisa disimpulkan sistem bioflok bukan pilihan praktis bila diterapkan di daerah yang pasokan listriknya tak dapat diandalkan atau sangat mahal.(*)
Baca Juga:
Hubungi Customer Sales Representative kami di
Indah Sari Windu Medan: Jl. Sutomo No. 560, Medan, Sumatera Utara, 20231, Indonesia Surabaya: Pergudangan Tanrise Westgate Diamond, Blok B-16, Wedi, Gedangan, Sidoarjo 61254, Indonesia Telp: 061 4571 224 - 0812 6083 0602 Up. Cherrie Gisela